Berkenalan dengan Putri Malu



Bagi sebagian orang, terutama orang dewasa tentunya kenal dengan tumbuhan Putri Malu atau dalam bahasa ilmiahnya Mimosa Pudica L. Tumbuhan yang ‘reaksi malunya’ bisa dilihat langsung. Hanya dengan sentuhan kecil ujung jari, daun-daun kecil bunga Putri Malu yang berhadapan-hadapan ini langsung menguncup malu. Ini mungkin salah satu penyebab bunga tersebut dinamai Putri Malu.
Untuk kita, rasanya tidak asing melihat jenis bunga ini. Bunga yang dirantingnya penuh duri dan hidup di tengah semak-semak, mudah sekali ditemukan. Apalagi bagi mereka yang berasal dari desa. Seperti saya, misalnya.
Tapi bagaimana dengan generasi sekarang? Anak-anak kecil yang sekarang duduk di bangku TK dan SD? Mereka yang sedari kecil hidup di kota? Apakah mereka mengenali bunga yang satu ini, juga bunga jenis lainnya?
Hmmm… Saya tidak yakin. Karena saya sudah membuktikannya, meski dengan sample yang tentunya tidak representative.

Ceritanya, pertengahan Februari lalu, saya diajak oleh sepupu kecil yang masih kelas 1 SD dan kelas 5 SD. Mereka mengajak saya jalan pagi di sekitar taman kompleks perumahan Cireunde.
Di pertengahan jalan, tiba-tiba saya menemukan bunga Putri Malu. Saya coba tanyakan pada mereka berdua, ternyata mereka tidak tahu. Justru bilang, ‘Tanaman apaan tuh?”
Saya kaget. Bukannya bunga ini seharusnya sudah dijelaskan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam? Gurunya yang tidak menjelaskan, atau anak-anak ini yang tidak memerhatikan pelajaran?
Jadilah saya berperan sebagai guru dadakan di pinggir jalan. Menceritakan bagaimana reaksi bunga Putri Malu ini ketika mendapat rangsangan dari luar. Kenapa bunga ini menguncup ketika disentuh. Menjelaskan juga bahwa tanaman bisa bereaksi terhadap malam, pagi, matahari, juga serangga.
Dan mereka cuma manggut-manggut sambil kenalan dengan si Putri Malu.

Nah, gara-gara penjelasan ini, di sepanjang jalan menuju rumah, saya dihujani pertanyaan-pertanyaan yang bikin kelabakan. Ternyata anak-anak kecil ini bukan takut bermain di luar atau enggan berkenalan dengan lingkungannya. Mereka cuma tidak punya tempat bertanya dan kesempatan untuk mencari tahu, apa sih nama tanaman-tanaman itu? Kenapa tanaman itu tumbuh di daerah sini, bukan di daerah lain? Bagaimana sih cara merawat tanaman biar nggak cepat mati? Dll..

Hmm… Saya prihatin dengan kondisi yang dialami dua sepupu kecil itu. Hidup di kota menjadikan mereka ‘abai’ dengan sendirinya. Mereka tidak mengenal apa-apa yang ada di sekelilingnya (nature deficit disorder).
Ah ya, rasanya tidak hanya anak kecil yang mengalami nature deficit disorder, orang dewasa juga masih banyak. Saya misalnya. Ketika pergi ke Kebun Raya Bogor, Ragunan, taman kota Tangerang atau ruang terbuka lainnya, saya sering mendapatkan nama pohon yang baru kali itu saya temui. Sayangnya, saya belum membiasakan diri mencatat nama pohon, berikut nama latinnya, dan memotretnya.
Berkenalan dan mencoba mempelajari nama-nama pohon itu menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan bagi saya.
Saya justru kesal ketika mendapati pohon yang tidak saya kenali. Dan naasnya lagi, pohon tersebut tidak diberi keterangan nama. Kesal bukan kepalang. Menyesal sekali karena saya tidak bisa menikmati apa yang ada di sekeliling saya.
Ah, ternyata saya juga mengalami nature deficit disorder! Apakah sodara juga pernah mengalaminya? Atau jangan-jangan cuma saya yang begini, sedangkan orang lain sudah begitu familiar dengan aneka flora dan fauna? *merinding*

Earth Day Every Day



Dua bulan terakhir ini saya tinggal di kosan yang berada di kawasan sadar lingkungan. Iya, sadar lingkungan. Setidaknya ini yang terpampang di spanduk besar di ujung gang:  ‘Anda memasuki kawasan sadar lingkungan” Begitu kira-kira bunyi tulisannya.

Saya tidak tahu kenapa gang di kampung ini disebut ‘kawasan sadar lingkungan’? Yang pasti, saya merasa nyaman ketika memasuki wilayah ini. Terasa lebih sejuk karena di kanan kiri jalan gang banyak tumbuhan hijau. Tidak terlalu banyak memang. Tapi pohon berukuran cukup besar dan bunga-bunga cantik yang menempel di dinding samping rumah warga, menambah kesan asri.

Sepanjang jalan pun jarang, bahkan boleh dibilang tidak ada sampah, kecuali daun yang berguguran. Kalau daun berjatuhan, menurut saya malah justru memperindah, bukan? Setiap pagi dan sore hari, bapak dan ibu-ibu di jalur gang ini setia sekali menyapu dan menyirami bunga. Iya, bapak-bapak juga. Membersihkan dan merawat lingkungan bersama-sama.

Lalu, apa menariknya?

Tentu saja, suasana asri dan sejuk yang saya rasakan. Saya membayangkan, seandainya semua permukiman penduduk memiliki kesadaran yang sama dengan warga di kampung ini, tentu udara Jakarta tidak terlalu pengap dan bikin sesak.

Apakah mimpi saya berlebihan? Sepertinya iya tapi bukan berarti tidak mungkin. Karena pada dasarnya, kewajiban menjaga lingkungan tidak melulu jadi tanggung jawab tokoh A setelah menyutujui nota kesepahaman, atau tugas besar negara B untuk mengurangi emisi. Tanggung jawab lingkungan ada di tangan kita, individu yang hidup di muka bumi.

Karena, kalau kita mau merunut satu demi satu, di bumi ini terdiri dari negara-negara. Negara terdiri dari kumpulan kelompok-kelompok. Kelompok terdiri dari individu-individu. So, tanggung jawab terhadap lingkungan (bumi) akan kembali ke pangkuan kita masing-masing, ke pundak tiap-tiap individu.

Apa yang kita lakukan terhadap lingkungan pada hari ini, akan menentukan masa depan bumi di masa mendatang. Sebab, setiap keputusan dan tindakan kita mengandung pilihan politis-ekonomis, juga ekologis untuk masa depan bumi.

Sejauh itu?

Ya.

Bayangkan saja, jika 150 juta orang dari 350 juta jiwa penduduk Indonesia memilih menggunakan sepeda motor atau mobil ketimbang angkutan umum massal. Atau 50% penduduk dunia lebih memilih rokok sebagai lifestyle. Dan atau, 100 juta orang membuang sampah plastik setiap harinya. Tentu masih banyak contoh yang lain.

Berbicara mengenai bumi, hari ini 22 April 2010 kita kembali diingatkan tentang pentingnya menjaga satu-satunya planet yang dihuni manusia ini. Semoga bencana banjir, gempa, lumpur Lapindo, gunung meletus dan rentetan bencana alam lainnya membuka mata dan hati kita untuk lebih care dengan bumi. Menjaga dan menyelamatkan bumi, meski baru bisa dilakukan dari hal  yang kecil.

Semoga Earth Day dan celebration lainnya tidak hanya semboyan tanpa tindakan yang nyata. Ya, semoga saja.

Come on, save our earth..



Mengharap Listrik dari TPA Sumur Batu

Akhir bulan kemarin, saya berkesempatan mengikuti pesta akbar narablog yang bertajuk Amprokan Blogger. Di bawah kepanitian dari komunitas Blogger Bekasi (BeBlog), acara ini berjalan sukses. Meski saya hanya mengikuti acara selama satu hari, saya berani simpulkan bahwa acara ini memang sukses. Sukses dalam arti, hanya hal kecil yang luput dari panitia. Dan itu jumlahnya sangat sedikit. Bahkan mungkin cuma saya yang merasakannya.

Keseluruhan acara ini digelar selama dua hari, Sabtu dan Minggu. Panitia tidak mewajibkan semua peserta untuk hadir di dua hari tersebut. Itu sebabnya, saya bisa pulang pada hari pertama karena kondisi yang kurang fit.

Acara yang saya ikuti di hari pertama lebih banyak diisi dengan kunjungan ke beberapa tempat ‘khusus’ di Kota Bekasi, seperti Tugu Patriot, Bantar Gebang, industri pembuatan boneka, President University, dan beberapa tempat lainnya. Dari beberapa lokasi yang dikunjungi, saya excited sekali dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Kota Bekasi.

Well, sebenarnya yang dikunjungi adalah TPA Sumur Batu yang merupakan bagian dari TPA Bantar Gebang. Nama TPA Sumur Batu memang seolah tenggelam dengan ‘kebesaran’ Bantar Gebang.

TPA Bantar Gebang sendiri bagi saya cukup fenomenal karena teramat sering nongol di layar kaca dengan berita yang lebih sering membuat kita miris. Saya penasaran. Sama penasarannya dengan keinginan saya melihat luapan Lumpur Lapindo!

Dan ternyata, seperti yang terpampang jelas di layar televisi, di Bantar Gebang ini terdapat permukiman kumuh yang dihuni para pemulung sampah. Miris sekali melihat keadaaan mereka. Hidup di antara tumpukan sampah dengan bau busuk yang menyengat. Tanpa listrik, tempat tinggal yang tidak layak, dan tidak sehat.

Saya sempat tertegun, ketika menyaksikan bapak-bapak yang sedang memilah botol plastic tersenyum ke arah bus kami yang melintas di depannya. Senyum tulus, seolah berkata, ‘Hey I live here and Im happy!”

Subhanallah, dalam keadaan yang menurut saya pribadi ‘miris’ bapak tadi masih bisa tersenyum. Jadi teringat diri sendiri yang terlalu banyak mengeluh..

Kembali ke soal sampah. TPA Sumur Batu menjadi tempat pembuangan sampah khusus daerah Bekasi. Di TPA ini sampah yang menumpuk hingga 20 meter dan mengeluarkan gas metan, dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTS). Saya kurang tahu, apakah  daya listrik yang dimiliki pembangkit ini sudah dinikmati warga sekitar atau belum.

See? Ternyata sampah yang menggunung bisa dimanfaatkan sebagai tenaga listrik. Akan lebih baik lagi, seandainya dari warga sudah ada pemilahan sampah organik dan anorganik. Apalagi Pemkab Bekasi sudah menyediakan tong sampah khusus untuk pemilahan sampah organik dan anorganik.

Yah, semoga progam ini bisa berkelanjutan. Dan semoga isu miring tentang mafia sampah hanya isu yang akan menjadi 'informasi sampah'.

Ah iya baru ingat, ini posting terlambat.
 
Cerita Kita Blog Design by Ipietoon