PLURALISME: Toleransi Saja Tidak Cukup

Pluralisme merupakan keniscayaan dari sebuah realitas sosial dan politik. Konsekuensi inheren dari pluralisme yang jelas adalah potensi konflik yang tidak terhindarkan dalam tatanan masyarakat.

Meski demikian, konflik-konflik ini bukanlah untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi dan dicarikan alternatif-alternatif solusinya. Karena konflik sudah menjadi bagian mutlak dalam kehidupan manusia, apalagi dalam masyarakat majemuk yang berdemokrasi.

Berbicara tentang pluralisme, tentunya tidak akan terlepas dari kebhinekaan yang melekat pada jati diri bangsa Indonesia.

Patut disadari, dari awal, bapak bangsa sudah sangat memahami kemajemukan yang ada dalam masyarakat Indonesia, mulai dari suku, agama dan kepercayaan, etnis, warna kulit, adat-istiadat dan bahasa daerah,  orientasi politik, dan ideologi.

Dari sini, bisa diketahui betapa pendiri bangsa ini sangat menyadari bahwa kemajemukan suku, adat istiadat, dan agama ibarat pisau bermata ganda.

Di satu sisi, kemajemukan bisa menjadi piranti penting pembangunan bangsa yang kaya dan bersahaja.

Di sisi lain, jika ditelisik lebih dalam, kemajemukan yang dikuasai oleh orang-orang tidak bertanggung jawab bisa melahirkan konflik-konflik horizontal.

Tidak salah jika kemudian, Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda, tetapi tetap satu jua) menjadi semboyan bangsa Indonesia.

Namun, semboyan ini bukan untuk melebur semua kebhinekaan menjadi sesuatu yang serba seragam. Justru sebaliknya, semboyan ini untuk melindungi dan menjadi pemersatu keragaman.

Sebab, kesatuan tanpa keragaman hanyalah utopia. Sebaliknya, keragaman tanpa kesatuan hanya akan melahirkan perpecahan dan eksklusivisme suatu kelompok atas kelompok lainnya, termasuk munculnya inklusivisme sebagai lawan eksklusivisme.

Berangkat dari kebhinekaan dan paham demokrasi yang sudah dianut sejak awal ini, Indonesia jelas tidak bisa mengabaikan hak-hak minoritas dalam masyarakat majemuk.

Indonesia tidak bisa merekayasa kebhinekaan menjadi keikaan yang hegemonik, yakni memberi ruang khusus hegemonisasi untuk kelompok mayoritas, misalnya.

Setiap kelompok yang hidup di Indonesia harus memiliki toleransi, meski telah disadari bahwa dalam negara demokrasi, toleransi saja tidak cukup.

Dengan kemajemukan yang dimilikinya, negara ini memerlukan pluralisme. Sebuah paham yang tidak hanya bertoleransi dengan mengetahui hak-hak kelompok lain, tetapi juga mengharuskan keterlibatan yang aktif setiap warganya, yakni dengan membiarkan dan memahami kelompok-kelompok yang berbeda agar bisa hidup tenang dan berdampingan dalam satu masyarakat.

Lalu, apa yang diperlukan untuk menjaga kebhinekaan sebagai piranti pembangun bangsa dengan peradaban tinggi, setelah pluralisme tercipta?

Bangsa ini memerlukan dialog/komunikasi yang intens antarkelompok, antaragama, dan antarkebudayaan yang dilakukan secara terus menerus.

Tentunya, hal ini tidak hanya berhenti pada dialog/komunikasi, tetapi harus disikapi dengan saling menjaga perbedaan yang menjadi aset bangsa untuk tetap hidup berdampingan tanpa harus mengusik kelompok lain.

Jika ini terwujud, tidak hanya akan menjaga kesatuan bangsa Indonesia, tetapi kita telah berhasil merealisasikan semboyan bhineka tunggal ika ke dalam makna yang seutuhnya.

Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam Lomba Menulis Pesta Blogger 2009 yang bertema “Pluralisme dan Kebhinekaan Bangsa”.

Aku merindu hingga gagu

Kalau diibaratkan dengan makanan,  perasaan saya ini pasti sudah seperti roti yang menjamur. Untuk kemudian melebur menjadi remah-remah hancur.

Perasaan yang menghinggapi saya untuk kesekian ratus hari ini adalah rasa bosan. Rasa bosan, yang diselimuti takut kehilangan. Perasaan yang sebenarnya biasa, dan sudah lama mendera. Tapi saya tidak tahu harus dengan cara apa memusnahkannya?

Saya sadar, keberadaan saya di sini, selain untuk bekerja, tidak lain dan tidak bukan karena ada sedikit motivasi untuk menjauh dari hiruk pikuk 'kota'. Awalnya, saya pikir pelarian ini tidak akan berlangsung lama dan saya bisa 'kabur' kapan saja. Tapi pada kenyataannya, tidak semudah yang saya duga.

Padahal berada di sini, sama seperti memunggungi keluarga sendiri. Jauh dan terasa sulit sekali menghampiri. Meski kadang rasa kangen membuncah.

Ah iya, semua rasa ini seharusnya sudah lama bisa saya akhiri. Dan jika akhirnya saya harus mengakhiri, semoga tak  ada sesal di kemudian hari. Jika akhirnya saya harus kembali memulai, semoga saya tidak terlalu cemas untuk sesuatu yang belum tentu terjadi. Jika dan hanya jika..

Bukankah hidup hanya soal pilihan? Memilih sesuatu yang sudah ada tapi kamu terpaku, atau memilih sesuatu yang belum ada tapi kamu yakin mampu? Bukankah pertolongan Allah datang dari segala penjuru? Kalau begitu, kenapa kamu masih ragu???

Hmm yeaahh!

****



Btw, kemarin baru baca buku Rectoverso-nya Dee. Keren! *kemane ajeee* Ada kalimat yang sangat saya suka.
Aku merindu hingga gagu

Aku mendamba hingga kehilangan daya
Aku terlalu lama terlelap dalam penghukumanku sendiri

Hingga aku takut terbangun dari mimpi.

Kira-kira begitu kutipannya.

Selamat malam. Tak terasa, esok sudah hari ke-19 kita berpuasa.
 
Cerita Kita Blog Design by Ipietoon