Epul adalah adik kami. Sedari kecil, dia sudah mengalami difabilitas dalam mendengar dan berbicara. Meski diberi alat bantu dengar, menurut Epul, dia tetap tidak bisa mendengar. Hanya getaran-getaran saja yang dia rasakan. Tentu saja, cerita Epul ini dia sampaikan dengan bahasa isyarat yang hanya dimengerti oleh kami.
Beranjak besar, kesadaran Epul semakin tinggi. Apalagi setiap kali dia melihat kami menjalankan ibadah sholat. Dia selalu bertanya, apa yang sedang kami kerjakan? Apakah dia juga dibolehkan untuk sholat? Bagaimana caranya? Pertanyaan itu, lagi-lagi diajukan dengan menggunakan bahasa isyarat. Pelan-pelan kami beritahu bahwa sholat adalah kewajiban orang muslim. Kemudian, kami ajari dia tentang akidah. Sampai akhirnya dia mengerti tentang ketuhanan, mengerti tentang Nabi Besar Muhammad SAW. Mengerti tata cara wudhu dan sholat. Juga tentang zakat, infak kepada orang miskin, berhaji, juga tentang bagaimana memperlakukan orang lain. Kami juga beritahu adanya surga dan neraka.
Pelan tapi pasti, Epul akhirnya mengerti dan benar-benar menjalankan apa yang kami ajarkan. Terutama ibadah sholat. Epul tahu betul kapan waktunya sholat dan sangat mematuhinya. Sholat lima waktu dia lakukan tepat waktu. Tidak jarang, dia juga sholat malam (tahajud).
Orang sekitar yang mengetahui aktivitas ibadah Epul, bertanya-tanya, bagaimana dengan bacaannya? Sedangkan Epul tidak bisa mendengar ataupun berbicara. Apa yang Epul lafalkan ketika dia sholat? Pertanyaan klise sebetulnya. Tentu saja kita tidak pernah tahu apa yang Epul baca ketika sholat, mengingat dia tidak bisa mendengar dan berbicara. Tapi, bukankah Tuhan Maha Tahu? Sudah barang tentu, hanya Allah yang mengerti apa yang Epul lafalkan saat sholat.
Salahkah jika penyandang difabilitas dalam berbicara dan mendengar melaksanakan ibadah sholat?
Sayangnya, masih banyak masyarakat kita yang meremehkan bahkan mencemooh orang seperti Epul. Mereka beranggapan bahwa sholat yang Epul lakukan hanya ikut-ikutan. Mereka tidak sadar, bahwa kadar keimanan tidak bisa diukur hanya karena Epul seorang penyandang difabilitas...
Epul hanyalah contoh kecil, bahwa masyarakat kita masih memandang sebelah mata atas keberadaan, pun kemampuan terpendam yang dimiliki kaum difabel. Masih banyak perlakuan yang kurang manusiawi yang dialami para penyandang difabilitas. Baik penyandang difabilitas yang terjadi sejak lahir, maupun yang terjadi karena kecelakaan. Tidak jarang ketika penyandang difabilitas berada di fasilitas umum, mereka mendapat ‘perhatian’ berupa tatapan rasa iba ataupun sebaliknya, tatapan menghina. Memandang sebelah mata. Ketika kaum difabel mengenyam pendidikan pun, mereka seringkali menjadi bahan olokan oleh teman-temannya.
Hal lain yang tak kalah krusial adalah tidak tersedianya fasilitas umum yang memadai bagi kaum difabel. Kondisi ini juga wujud dari masih rendahnya perhatian pemerintah terhadap penyandang difabilitas. Padahal penyandang difabilitas juga memiliki hak yang sama untuk menikmati fasilitas umum dengan penuh kenyamanan.
Masih rendahnya penyerapan tenaga kerja dari para penyandang difabilitas juga menjadi persoalan tersendiri. Pemberian porsi pekerjaan bagi para penyandang difabilitas di perusahaan-perusahaan negara maupun swasta masih teramat kecil dari yang diwajibkan dalam perundang-undangan. Lagi-lagi, hak penyandang difabilitas untuk mendapat pekerjaan terabaikan.
Hak-hak penyandang difabilitas tidak akan terabaikan jika saja pemerintah tidak abai pada keberadaan mereka.Harus ada langkah pasti dari pemerintah untuk membentuk wadah bagi mereka yang mengalami difabilitas. Sehingga ide-ide kreatif dan bakat terpendam yang mereka miliki tidak tenggelam dan hilang begitu saja.
Edukasi masyarakat dan kampanye positif juga diperlukan agar masyarakat bisa lebih menghargai para penyandang difabilitas. Tidak memandang rendah dan meremehkan kemampuan para penyandang difabilitas. Masyarakat harus ingat ada Nick Vijicic dan Hirotada Ototake yang meski tidak memiliki kaki dan tangan, namun bisa melakukan banyak hal. Bahkan sekarang Nick menjadi motivator super tingkat dunia. Lalu ada Hellen Keller, penyandang difabilitas penglihatan, pendengaran, dan berbicara yang bisa menguasai berbagai macam bahasa dan lulus dari Universitas Harvard.
Mereka memang memiliki keterbatasan dalam banyak hal, tapi mereka juga memiliki segudang kemampuan di luar batas-batas kemungkinan kita. Jika ada yang kekurangan dalam satu hal, pasti ada kelebihan di hal lain. Demikian juga dengan para penyandang difabilitas. Tidak seharusnya kita memandang sebelah mata atas keberadaan mereka. Semua sama dan semua berhak mendapatkan perlakuan yang sama.
*Gambar dari aikon.org