Earth Hour: Prioritas dan Pilihan

Earth Hour…

Earth hour kali ini saya tidak bisa berpartisipasi total untuk mematikan lampu dan semua benda yang beraliran listrik lainnya tepat pada pukul 21:30 WIB.

Pertama, karena saya di kosan baru. Rasanya tidak elok kalau saya harus woro-woro ke ibu kos dan teman lainnya yang baru dikenal. Jadilah saya hanya mematikan lampu kamar, kipas angin, dan laptop.

Kedua, handphone saya masih dibiarkan menyala. Tentu tanpa terhubung dengan aliran listrik lagi.

Terbukti tidak total, kan?

Actually, saya sangat setuju dengan aksi ini. Bagi saya pribadi, apa ruginya mematikan aliran listrik selama satu jam dalam satu tahun? Hanya saja, saya belum bisa total karena dua alasan di atas.

Tapi, apapun alasan untuk menolak aksi ini, bagi saya semua itu soal prioritas dan pilihan.

Soal prioritas misalnya, bagi orang IT atau karyawan yang bekerja di bidang telekomunikasi, saya rasa akan memilih untuk tetap menyalakan listrik karena khawatir jaringan putus.

Atau bagi penjual es, mungkin akan tetap menyalakan kulkasnya karena khawatir es buatannya meleleh. Dan harus membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk membekukan kalau ia harus mematikan kulkasnya.

Itu cuma contoh kecil…

Menolak Earth Hour juga soal pilihan. Sebab, ini juga hak tiap individu. Mungkin saja dia sudah terlampau sering merasakan pemadaman mendadak ataupun pemadaman bergilir. Jadi, ngapain dimatiiin, toh nggak dimatiin juga hampir tiap hari mati lampu?? Mungkin alasannya begitu.

Lagipula, menolak Earth Hour bukan berarti tidak cinta bumi, kan? Dan menolak Earth Hour bukan berarti suka boros listrik, kan?

Semoga setelah aksi Earth Hour 2010 akan berbanding lurus dengan aksi hemat energi listrik setiap hari. Percuma woro-woro Earth Hour kalau masih boros dalam penggunaan listrik. Percuma woro-woro Hari Air Sedunia kalau kita masih boros air. Percuma woro-woro Hari Bumi kalau masih membuang sampah sembarangan. Apapun aksi solidaritasnya, harus diikuti dengan pembiasaan yang selaras dalam aktivitas sehari-hari.

Saya sayang dan cinta dengan bumi yang saya pijak. Karenanya saya tidak ingin menjadi bagian dari ‘tangan-tangan jahil perusak bumi’. Meski peran saya untuk mencintai planet ini baru bisa dilakukan melalui hal yang sangat-sangat kecil.

Jadi ingat dengan Aa  Gym tentang 3M.

So, masih tetap tidak peduli dengan bumi yang kita pijak sampai mati?

Sebuah LSM berpendapat, belum ditemukan ada planet lain selain bumi yang bisa menampung manusia.

Matikan Rokokmu Sebelum Rokok Mematikanmu

rokokAkhir-akhir ini ramai orang berdebat tentang fatwa rokok haram yang dinyatakan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah. Banyak pro dan kontra menanggapi fatwa ini. Ada yang beralasan penerimaan cukai dari rokok sangat tinggi, mempertanyakan nasib industri rokok, nasib petani tembakau, dan tentunya nasib pekerja di industri rokok. Kubu yang mendukung fatwa ini berpendapat, rokok tidak hanya membahayakan kesehatan pengguna dan orang lain, tetapi juga lingkungan sekitarnya.

Bagaimana dengan para perokoknya? Ah, ternyata mereka juga cuek beibeh!

Belum selesai diperdebatkan, Majlis Tarjih Nahdlatul Ulama menyatakan, rokok hukumnya makruh. Artinya, tidak berdosa jika dilakukan, tapi berpahala kalau ditinggalkan. Sebuah tabrakan fatwa yang membuat bingung para pengikutnya.

Terlepas dari perdebatan tersebut, fatwa memang tidak mengikat pengikutnya.

Tahun lalu misalnya, Majelis Ulama Indonesia mengharamkan rokok bagi wanita hamil, anak-anak, dan perokok di tempat umum. Faktanya, kita bisa dengan mudah menemukan orang merokok di bus, di halte, di mall, bahkan di rumah sakit sekalipun.

Kondisi ini menunjukkan, bahwa fatwa rokok memang cenderung diabaikan oleh pengikutnya.

Pada dasarnya, semangat fatwa rokok yang dikeluarkan majlis tarjih memang sejalan dengan program pemerintah agar masyarakat kita tidak terkena dampak buruk rokok. Tapi, fatwa (sekali lagi) memang tidak mengikat. Diperlukan sebuah aturan yang tegas untuk mengatur hal ini. Sayang sekali, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang salah satunya mengatur zat adiktif dalam rokok dan tembakau yang membuat pengguna ketagihan, justru dihilangkan dengan sengaja.

Tentunya, peraturan yang diperlukan tidak hanya sampai di sini, peraturan tentang pembatasan merokok di tempat umum juga menjadi kebutuhan mendesak saat ini. Jangan sampai hak pribadi (merokok), justru mengganggu dan merugikan orang lain.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah penyadaran kepada masyarakat tentang bahaya rokok bagi kesehatan dan lingkungan. Perlu edukasi, bahwa merokok, selain membahayakan kesehatan diri sendiri, juga membahayakan orang lain yang berada di sekitarnya.

Bahwa asap rokok yang dikeluarkan oleh jutaan manusia menjadi polusi udara. Artinya, jelas sudah merusak kesehatan lingkungan.

Demikian pula dengan jutaan puntung rokok yang dibuang sembarangan dan tertimbun, akan menyebabkan kerusakan  air dan tanah. Karena puntung rokok membutuhkan waktu 25-26 tahun untuk bisa mengalami proses pembusukan.

So, masih ingin mempertahankan kebiasaan merokok?

Seorang kawan bilang, matikan rokokmu sebelum rokok mematikanmu.

I do agree with this statement!



Menjadi Bagian 1001 Buku

23674_1247067418855_1294514594_30664930_6811107_nUntuk pertama kalinya sejak saya bergabung dengan komunitas 1001buku awal 2007 lalu, baru sekali ini saya ikut dalam kegiatannya yang riil. Selama ini saya hanya bisa mengikuti perkembangannya lewat milis dan website 1001buku. Sampai akhirnya, setelah saya hijrah ke Jakarta, Sabtu 20 Februari lalu saya bisa ikut salah satu program 1001buku yang dinamai SPD (Sort-Pack-Distribute).

Mungkin bagi beberapa anggota 1001buku yang sudah sering ikut dalam kegiatan SPD, akan menganggap kegiatan ini biasa saja. Tapi tidak bagi saya.

Kenapa?

Pertama, amazed! Bagaimana tidak?? Jaman sekarang, di saat kebanyakan orang selalu berorientasi pada profit, pada uang, ternyata masih ada sekelompok orang yang masih dengan sukarela mengerjakan banyak hal tanpa ada bayaran sepeserpun.

Yang mereka pikirkan adalah bagaimana buku ini bisa tersalurkan ke taman baca yang membutuhkan. Bagaimana buku-buku ini tersortir dengan baik sehingga layak untuk diberikan ke orang lain.

Yang mereka harapkan adalah buku yang diperoleh dari para donatur ini bisa sampai ke tangan-tangan yang tepat. Dan yang juga mereka harapkan adalah semoga akan ada banyak orang yang dengan sukarela membantu menyalurkannya.

Lewat apa? Jelas lewat kegiatan SPD ini..

Kedua, marveled! Ini karena minimnya pengalaman saya dalam distribusi buku. Saya tidak menyangka kalau prosesnya lumayan panjang.  Apalagi dengan buku yang jumlahnya ribuan. Kegiatan SPD jelas memakan banyak tenaga dan waktu.

Jadi, prosesnya dimulai dengan membersihkan setiap buku yang bertumpuk-tumpuk saking banyaknya. Kemudian dipilah antara buku kategori anak dan dewasa. Dipilah lagi berdasarkan jenis bukunya, cerita, pelajaran, pengetahuan umum, kreativitas, majalah, dll.

Setelah selesai dipilah, diberi stempel 1001buku. Buku yang sudah distempel, lalu diberi label sesuai dengan catalog buku yang sudah ada di 1001buku. Baru kemudian dimasukan dalam dus-dus yang sudah disediakan. Dirapikan, dibungkus, dan didistribusikan.

Bayangkan kalau kegiatan SPD ini hanya dilakukan oleh tiga sampai lima orang? Saya tidak bisa membayangkannya.

Yang pasti, SPD terakhir banyak diikuti oleh teman-teman 1001buku. Sayangnya, saya nggak sampai selesai karena ada tugas kantor yang menanti.

So, siapapun yang membaca posting ini dan berminat dengan dunia buku, silakan bergabung di 1001buku.

Untuk 1001buku, terima kasih telah mengajari ku arti ikhlas. Komunitas ini memberi pelajaran baru, jangan mengharap imbalan, pun ucapan terima kasih atas kebaikan yang kita lakukan pada orang lain.  Cukup niatkan bahwa kita ingin membantu mereka yang memang membutuhkan. Titik.

Buat teman-teman 1001buku, Mbak Rini, Aisyah Putri, Mas Rizal, Mas Indra, Mbak Elvita, Cici, juga semuanya tetap semangat!

Bravo 1001buku!

NB: Foto by Cici Silent.

Odong-odong

Assalamu’alaikum rumah mayakuuuu….

Huhu.. Lama sekali saya nggak update apapun di sini. Kesibukan yang memenjara kreativitas, juga sarana yang nggak bisa lagi saya nikmati dengan gratis turut mempengaruhi minat saya untuk memasuki ‘rumah’ ini.

Iya, saya cuma sesekali menengok ‘rumah’ ini. Cuma menengok, tanpa berbenah. Ah, jangankan berbenah, sekedar mengisi saja rasanya berat sekali bagi saya.

Tuuh kaaan… Saya malah nulis alasan-alasan thok!

Oke, anggap saja nggak pernah baca 'prelude' di atas. Itu cuma buat mereka yang suka beralasan. Termasuk saya tentunya. Seribu alasan dikemukakan. Padahal intinya cuma satu: malas.

Dan sudah seharusnya penyakit ini nggak boleh menghinggap terlalu lama di jiwa saya!

*mengusir si malas*

.

.

.

Jadi ceritanya, sekarang saya sedang kangen. Kangen sama odong-odong (baca:kopaja). Satu bulan saya setia naik odong-odong. Sebenarnya bukan setia. Ini karena di tempat kerja saya, nggak ada angkutan lain lagi selain si odong-odong. Ada sih TransJakarta, tapi harus muter jauuuuuhh. Dan itu jelas nggak efektif buat saya.

Jadilah saya setiap hari naik odong-odong. Berebut tempat duduk dengan penumpang lain. Terkadang sampai berebut tempat berpijak di odong-odong karena saking penuhnya.

Fyuuhhh... betapa rakusnya supir odong-odong. Anehnya, masih ada saja yang mau naik. Berjubel di pintu masuk. Berkeringat, berhimpitan, dan ber-ber lain yang sudah pasti nggak enak!

Hei..! Itu belum termasuk kebiasaan jelek odong-odong pas malam hari. Ini yang paling saya nggak suka. Penumpang odong-odong seringkali dialihkan ke odong-odong yang lain. Dan parahnya, pengalihan penumpang ini nggak melihat tempat. Pernah satu kali saya mendapati penumpang odong-odong yang 'mencuri' jalur Busway dialihkan ke odong-odong yang saya tumpangi! Edan!

Tapi mau bagaimana lagi? Begitulah potret angkutan rakyat di negeri tercinta kita ini.

*sebenarnya kalau berbicara soal odong-odong, pasti berkaitan dengan TransJakata. Next time lah saya bahas*

.

.

Satu bulan berjibaku dengan odong-odong, akhirnya saya menyerah. Saya memilih kos di dekat kantor dan meninggalkan odong-odong.

Meski banyak sisi negatifnya, ternyata saya kangen juga dengan odong-odong. Kangen menjadi pengamat penumpangnya! Haha… Nggak keren banget,  PENGAMAT PENUMPANG!

Mau jadi pengamat politik, sudah banyak. Pengamat ekonomi, lebih banyak lagi.

*posting nggak penting setelah sekian lama*
 
Cerita Kita Blog Design by Ipietoon