Kartini Digital Sebagai Motor Gerakan Sosial

Berbicara tentang kartini digital, tentu erat kaitannya dengan penggunaan dan pemanfaatan internet untuk gerakan sosial digital. Namun, sejauh mana pemanfaatan internet untuk melakukan gerakan sosial digital? Hal ini masih perlu dilakukan survei terhadap perempuan pengguna internet.

Survei ini akan menjadi hal yang menarik. Apalagi melihat fenomena pengguna internet di Indonesia yang cenderung mengalami kenaikan signifikan, khususnya kaum perempuan.
Selama ini, pemanfaatan internet masih terbatas sebagai alat komunikasi (email dan chat) dan sarana berbagi informasi. Sedangkan pemanfaatan internet sebagai sarana untuk melakukan kampanye gerakan sosial digital masih kurang.

Padahal, Kartini digital dituntut untuk bisa memanfaatkan internet dengan maksimal. Artinya, selain sebagai alat komunikasi dan berbagi informasi, keberadaan internet sebisa mungkin dimanfaatkan sebagai alat kampanye gerakan sosial digital.
Sebab, terdapat perbedaan antara berbagi informasi dan kampanye sosial digital. Berbagi informasi hanya bertujuan meningkatkan kapasitas pengetahuan si penerima informasi.

Dengan bertambahnya pengetahuan, diharapkan terjadi diskusi yang bisa menciptakan inovasi-inovasi terbaru di dunia digital. Sedangkan kampanye digital sosial, selain berbagi informasi, juga untuk mencari sebanyak mungkin dukungan gerakan sosial.

Nah, untuk melakukan kampanye gerakan sosial digital ini, kartini digital dituntut untuk tahu sasaran dan target dukungan di dunia digital. Dengan demikian, kartini digital juga akan tahu kapan saatnya menggunakan milis, web organisasi, blog, social media (Facebook dan Twitter), forum diskusi, maupun web 2.0. Sebab, media-media tersebut memiliki keunggulan masing-masing.

****

Tentu masih hangat dalam ingatan kita pada gerakan Koin Keadilan untuk Prita Mulyasari. Gerakan sosial yang beranjak dari dunia maya ini terbilang sukses besar. Tidak hanya berhasil mengajak onliners untuk mendukung gerakan ini, dalam kegiatan offline pun gerakan ini mendapat dukungan luar biasa. Hal ini tidak lepas dari dukungan media-media konvensional. Artinya, dalam gerakan Koin Keadilan untuk Prita sudah terjadi sinergi antara kampanye di dunia digital dan kampanye konvensional.

Setelah gerakan Koin Keadilan untuk Prita, kemudian muncul Koin untuk presiden. Dan baru-baru ini, muncul gerakan Koin Sastra. Hanya saja, sampai saat ini belum ada gerakan sosial digital yang mendulang sukses seperti gerakan Koin Keadilan untuk Prita.
Kenapa?

Ada beberapa penyebabnya:

Pertama, bisa jadi kampanye gerakan sosial digital belum menjadi bagian strategi kampanye para aktivis dunia maya, khususnya kaum perempuan. Seperti penjelasan di atas, kampanye digital masih sebatas berbagi informasi dan belum sampai pada tahap mencari dukungan.

Kedua, akses internet yang belum merata di seluruh Indonesia. Sejauh ini, pengakses internet masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Internet dengan kecepatan tinggi pun masih sebatas di kota-kota besar Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan akses telematika di Indonesia. Di satu sisi, suatu wilayah banjir akses internet dan segala kemudahannya, di sisi lain ada sebagian wilayah yang tertinggal jauh meski sekedar untuk mengakses internet.

Kondisi ini menjadi PR besar bagi XL sebagai salah satu provider terbesar di Indonesia untuk melakukan terobosan baru dalam hal penyebaran akses internet oleh masyarakat, khususnya kaum perempuan. Sebab, selama ini, banyak provider yang masih mempertimbangkan profit yang didapat jika memperluas akses ke daerah-daerah pelosok.

Padahal, bagaimanapun mereka yang di pelosok juga memiliki hak yang sama untuk mengakses informasi via internet. Dan bukan tidak mungkin, dari daerah pelosok, justru muncul kartini-kartini digital yang mumpuni.

Ketiga, belum adanya sinergi antara gerakan sosial digital dan gerakan sosial dari media konvensional. Walau bagaimanapun, media konvensional tetap diperlukan untuk menggalang dukungan gerakan sosial digital. Jika tidak ada dukungan dari gerakan media konvensional, gerakan sosial digital akan redup dengan sendirinya. Karena belum semua masyarakat Indonesia, khususnya kaum perempuan, yang melek dengan dunia digital.

Hal ini tentu saja menjadi PR kartini-kartini digital untuk mengajak semua kaum perempuan dari berbagai kalangan sosial untuk melek teknologi dan informasi. Ajakan ini bisa dilakukan dari komunitas yang paling kecil, seperti di lingkungan PKK.

Keberadaan kartini digital sangat ditunggu oleh mereka yang secara ekonomi dan sosial belum mampu untuk mengakses internet. Kartini digital ditunggu uluran tangannya untuk memberikan jalan pengenalan dunia digital pada mereka. Mereka, kaum perempuan yang memiliki hak sama, namun tidak memiliki kesempatan sama dengan kita. Akan menjadi kesenjangan sosial-telematika jika kondisi ini terus menerus dibiarkan.
Jika bukan kita, siapa lagi? :)

Kepak Sayap Perempuan di Era Digital

Jika di dunia nyata perempuan dianggap lebih suka berbelanja, demikian pula di dunia maya. Kaum perempuan akhir-akhir ini seolah menjadi tolok ukur untuk menentukan target pasar di dunia maya. Karena perempuan diyakini memiliki daya beli yang potensial ketimbang laki-laki. Benarkah? Bisa jadi.

Saat ini banyak sekali online shopping yang menyajikan berbagai macam kebutuhan perempuan, mulai dari kebutuhan yang remeh temeh sampai kebutuhan yang besar. Pun halnya barang-barang kebutuhan yang berkaitan dengan perempuan, misalnya, barang-barang kebutuhan bayi.

Maka, tidak mengherankan jika kemudian perusahaan yang cerdik seperti Amazon.com meluncurkan program Amazon Mom tahun lalu. Amazon menyadari bahwa perempuan merupakan konsumen terbesar di dunia maya. Karenanya, Amazon berusaha mewujudkan apa yang ‘dimau’ oleh kaum perempuan. Salah satunya, dengan menyediakan keperluan perempuan sebagai ibu di online store-nya.

Akankah perempuan selamanya dianggap sebagai konsumen yang hanya senang menghabiskan waktu dan uang untuk berbelanja di dunia maya? Tentu sebagai perempuan, saya jawab: TIDAK!

Menghadapi era digital, kaum perempuan memang dituntut untuk mengikuti perkembangan teknologi dan informasi terkini. Paling tidak, perempuan bisa memanfaatkan internet untuk kegiatan yang positif.

Adalah Fahira Idris yang sudah membuktikannya. Di saat kekerasan antarumat bergama tengah memuncak, Fahira hadir menjadi pengguna social media yang cerdas. Melalui akun Twitter-nya, Fahira menyampaikan pertanyaan pada FPI dengan kalimat yang halus, tanpa emosi. Meski pada saat itu banyak sekali yang menghujat ormas ini melalui akun Twitter dan social media lainnya.

Beberapa tweet dari Fahira Idris adalah “Dear FPI, bila memang itu tindakan kalian, apakah kalian yakin sesuai dengan perilaku Nabi Muhammad.”
Lalu ada lagi, “Dear FPI, Islam cinta damai bukan kekerasan.”

Melalui akun Twitternya juga, Fahira berhasil mengajak ribuan pengguna social media, terutama twitter untuk menyampaikan surat pada FPI. Dia juga mengadakan dialog langsung dengan FPI. Semua dilakukan demi dan hanya untuk menciptakan kedamaian.

Karena ajakannya untuk menciptakan kedamaian melalui Twitter, Fahira Idris pun didaulat sebagai The Most Inspiring Tweeter. Fahira Idris (@fahiraidris) terpilih sebagai Tweeps yang paling memberikan inspirasi bagi pengguna lainnya.
Tentu masih banyak lagi kaum perempuan yang memanfaatkan internet untuk kegiatan-kegiatan sosial.

Lalu bagaimana perempuan memanfaatkan internet di era digital seperti saat ini?
Era digital memiliki dua sisi, terutama bagi seorang ibu. Selain memanfaatkan internet untuk kepentingan dirinya sendiri, seorang ibu juga harus memerhatikan dampak internet bagi anaknya. Ibu harus bisa membagi waktu dan perannya sebagai perempuan di era digital sekaligus melindungi anaknya dari pengaruh negatif internet, seperti konten pornografi maupun games yang penuh dengan kekerasan.

Untuk itu, ibu juga harus mengerti pemanfaatan internet secara sehat, antara lain:

- Internet sebagai sarana memperluas wawasan
Kaum perempuan, terutama ibu rumah tangga yang harus stay at home bersama anak-anaknya, bukan berarti ketinggalan informasi atau perkembangan dunia terkini. Apalagi acara televisi kita lebih banyak didominasi acara-acara seperti infotainment dan sinetron. Mau tidak mau, kaum perempuan harus menggali informasi dan memperluas cakrawalanya melalui media yang lain, salah satunya internet. Cukup dengan membuka Google, jutaan informasi bisa diakses. Termasuk ketika harus mencari informasi berkaitan dengan perkembangan anak ataupun buku-buku. Saat ini, sudah tak terhitung ibu-ibu yang berbagi informasi kekeluargaan, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya melalui internet.

- Internet sebagai sarana bergaul dan menambah jejaring
Saat ini sudah banyak tersedia jejaring sosial (social media) yang memungkinkan kita sebagai pengguna untuk terhubung dengan jutaan manusia dari belahan dunia manapun. Salah satu yang booming dan banyak digandrungi adalah Facebook dan Twitter. Selain bisa menemukan teman lama dan teman baru, dari social media kaum perempuan juga bisa memanfaatkannya untuk berbagi tentang berbagai hal. Mulai dari sharing informasi menulis sampai resep masakan. Semua bisa dilakukan di social media.

- Internet sebagai sarana mengembangkan kreativitas
Sudah tidak terhitung banyaknya jumlah perempuan yang terlibat dalam komunitas kreativitas, seperti komunitas merajut, sketsa, menulis, memasak, handycraft dan masih banyak lagi. Semuanya dilakukan melalui internet. Mereka berdiskusi dan berbagi tentang berbagai hal. Sampai pada acara temu muka (kopdar) dalam event bulanan maupun event besar berupa pameran-pameran.
Bukan tidak mungkin, pada saatnya, kaum perempuan juga bisa menciptakan inovasi baru di bidang teknologi dan informasi. Sehingga, kaum perempuan tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pencipta teknologi.

- Internet sebagai sarana gerakan sosial
Hal ini seperti yang dilakukan oleh Fahira Idris. Tentu saja, kaum perempuan lain pun bisa melakukan gerakan sosial dengan tema yang berbeda. Misalnya, ketika kita telah mampu untuk memanfaatkan internet, tentunya kita juga ingin berbagi dengan perempuan lain yang belum sempat mengenal internet. Gerakan sosial ini bisa dilakukan dengan menyelenggarakan pelatihan dari kelompok terkecil di sekitar lingkungan kita. Semakin banyak perempuan yang melek internet, aspirasi dan permasalahan seputar perempuan akan terakomodasi dan disampaikan dengan lebih cepat. Lagipula, bukankah berbagi tak pernah rugi?

Dengan begitu besarnya peranan kaum perempuan di era digital, Ibu Kartini pasti bangga 'di sana'. Beliau akan bangga melihat begitu pesat kemajuan emansipasi perempuan. Tidak hanya pemikiran yang semakin maju dan kesetaraan gender, kini kaum perempuan pun bisa berjuang menyuarakan dan melakukan gerakan sosial baik dalam kehidupan nyata maupun melalui dunia maya sebagai Kartini-Kartini digital.

So, masih ragu dengan kemampuan para Kartini Digital?

Entrok

Judul: Entrok

Tebal: 288 halaman

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Untuk mereka yang menyimpan Tuhan masing-masing dalam hatinya.


.......

Marni dan Rahayu, dua generasi yang berbeda jauh. Berbeda keyakinan, berbeda pemikiran, tapi sama-sama menjadi korban penguasa.

Bermula dari keinginan memiliki entrok (sebutan untuk bra dalam bahasa Jawa), Marni memulai kerja kerasnya sebagai kuli panggul di Pasar Ngranget. Keping demi keping uang pun dia kumpulkan demi membeli satu entrok. Hingga akhirnya Marni berhasil dan memiliki usaha sendiri.

Bersama suaminya, Marni pun mengembangkan usahanya. Dari sekedar bakulan sampai menjadi tempat peminjaman uang. Namun, gara-gara usaha pinjam-meminjam uang itu Marni mendapat julukan rentenir alias lintah darat. Tidak hanya itu, Marni juga digunjing tetangga sebagai pemelihara tuyul untuk pesugihan.


“Oalah... Gusti! Ngerti bentuk tuyul saja aku tidak pernah, kok bisa-bisanya aku punya tuyul.”




Perbedaan keyakinan antara Marni dan Rahayu juga seringkali menjadi pemantik pertengkaran keduanya. Marni tidak pernah menyangka, Rahayu, anak kandungnya sendiri akan memusuhinya. Menganggapnya sebagai pendosa karena bertahun-tahun menyediakan sesajen bagi leluhurnya.



“Duh, Gusti Allah, kalau memang Kau maha mengetahui, Kau pasti tahu tak ada niatku untuk tidak menyembahMU, untuk menjadi berbeda dibanding anakku dan orang-orang lain itu. Tapi bagaimana aku bisa menyembahMU kalau kita memang tidak pernah kenal?"




Ditambah lagi, kabar bahwa Marni memelihara tuyul. Rahayu pun tidak bisa mengelak dari olok-olok sebagai anak tuyul. Karuan saja, kebencian Rahayu pada Marni semakin menjadi.



Aku membenci Ibu. Dia orang berdosa.

Aku membenci Ibu. Kata orang, dia memelihara tuyul.

Aku membenci Ibu, karena dia menyembah leluhur.

Aku malu, Ibu.




Meski berbeda dalam banyak hal, dua anak beranak ini mengalami kepahitan yang sama. Marni menjadi korban pemerasan, sedangkan Rahayu masuk penjara dan mendapat ‘titel’ ekstapol (ET). Keduanya karena ulah tentara berbaju loreng.

.

.

.

Novel ini sangat recommended untuk dibaca, khususnya bagi yang ingin mengetahui perjuangan kaum perempuan di masa lalu. Meski di beberapa bagian ada yang membuat bergidik ngeri. Misalnya, ketika penulis bercerita tentang kekejaman tentara yang semena-mena menghukum orang kecil. Nyawa yang hilang hanya gara-gara kentut. Atau penggalan kepala manusia yang dikirim ke rumah penduduk. Sebegitu kejamnya kah tentara pada saat itu?

Terlepas dari itu, novel ini sangat unik. Penulis meletakkan ending cerita di awal dan di akhir halaman. Dua babak yang menghubungkan cerita dalam novel ini dan menjadikannya karya yang utuh. Di tengahnya, penulis sangat piawai mengajak pembaca berkenalan lebih dekat dengan Marni dan Rahayu.

Entrok adalah novel pertama karya Okky Madasari. Dia seorang blogger dan mantan jurnalis yang sekarang aktif menulis novel.

Sebenarnya ini review telat. Entrok sudah dicetak pertama sejak April 2010 dan sekarang Okky pun sudah mengeluarkan novel keduanya yang berjudul ‘86’ pada Maret lalu.

Dan saya sangat ingin memiliki novel '86' ini!


Di novel keduanya ini, Okky mengungkap cerita tentang praktik korupsi di pengadilan.

Hmmmm... Jadi penasaran!! Di tengah maraknya praktik korupsi dan ketimpangan keadilan di lembaga peradilan negeri ini, hadir novel yang bisa mengampanyekan perlawanan terhadap praktik busuk tersebut. Semoga saya segera memiliki bukunya.

Posting ini diikutsertakan dalam Kita Berbagi yang di selenggarakan Cyber Dreamer.

*Tidak bisa menampilkan foto bukunya karena blog saya sedang dalam masalah. Hiks. Untuk yang penasaran dengan tampilan novel Entrok dan 86, silakan kunjungi web penulisnya langsung yaaa ^_^

There's nothing wrong with being funny..


Dua hari terakhir ini, saya terhibur sekali dengan video polisi Gorontalo yang menari India dan diunggah di Youtube.
Video dengan judul Polisi Gorontalo Menggila ini berhasil mencuri perhatian masyarakat, terutama yang gemar bermain di dunia maya.
Terbukti, kemarin, kalau tidak salah, baru dilihat sekitar 19.000-an orang, tapi hari ini jumlahnya membengkak jadi 160.000!
Jumlah komentarnya pun sampai 2.600! Wow! Kereeeeeeennn!

Terlepas dari kontroversi soal tindik di lidah Briptu Norman Kamaru, nama polisi dalam video ini, setidaknya Norman sudah menghibur kita semua, termasuk dirinya sendiri.
Di sela-sela tugasnya di pos jaga yang bisa jadi membosankan, dia mencoba menghilangkan kejenuhan dengan caranya sendiri yang unik.
Sayang sekali, Norman kini sedang dalam posisi bahaya. Dari berita yang beredar, atasannya akan memberi sanksi pada Norman.
Untuk teman-teman yang ingin memberi dukungan agar Norman Kamaru tidak diberi sanksi, silakan masuk ke sini.

There's nothing wrong with being funny.. :)
 
Cerita Kita Blog Design by Ipietoon