Nyai Muqoddimah atau Nyai Muqod. Begitulah masyarakat di desa tempat tinggal saya memanggilnya. Hari-harinya dipenuhi dengan anak-anak yang ingin belajar mengaji. Dari jaman ibu saya kecil, sampai saya lahir, sampai saya punya anak kecil, Nyai Muqod masih menjadi guru mengaji di kampung kami. Usia ibu saya sekarang 47 tahun. Artinya, sudah lebih dari 40 tahun Nyai mengajar mengaji. Jelas bukan waktu yang singkat. Apalagi sebagai guru mengaji, Nyai tidak memungut biaya. Hanya ada iuran sukarela Rp1000 per orang tiap minggunya. Padahal Nyai mengajar mengaji dua kali dalam sehari. Selepas Maghrib dan selepas Shubuh. Semuanya dilakukan di rumahnya.
Sudah tidak terhitung berapa banyak anak didik perempuan yang pintar mengaji berkat berguru padanya. Begitu juga anak didik yang laki-laki yang berguru mengaji pada suaminya. Sama halnya dengan sang istri, suami Nyai Muqod juga mengajar dua kali dalam sehari. Selepas Maghrib dan selepas Shubuh. Hanya saja, aktivitas mengaji kaum laki-laki selepas Maghrib dilakukan di masjid. Sedangkan selepas Shubuh memakai ruang tamu di rumahnya.
Selain menjadi pengajar, Nyai Muqod juga memiliki bisnis kayu bakar. Harap maklum, kami tinggal di desa. Aktivitas masak-memasak sebagian besar warganya masih menggunakan kayu bakar. Sampai saya menulis postingan ini, bisnis kayunya masih berjalan. Meski sempat disaingi oleh beberapa orang, tapi hanya bisnis kayu bakar milik Nyai Muqod inilah yang masih eksis. Aktivitas berjualan kayu bakar ini dilakukan dari pagi sampai sore. Kecuali membelah kayu, semua aktivitas dari menjemur kayu sampai menatanya di tempat yang teduh dilakukannya sendiri. Ada juga murid mengajinya yang datang sukarela untuk membantunya.
Selain mengajar mengaji dan berjualan kayu bakar di depan rumahnya, Nyai Muqod juga ikut dalam aktivitas keagamaan. Setiap Hari Senin dan Kamis, ikut dalam pengajian Alqur’an bersama ibu-ibu di desa. Hari Jumat dan Sabtu ikut ceramah di masjid.
Nyai juga memiliki lima anak perempuan dan satu anak laki-laki. Semuanya hafal Alqur’an. Beberapa di antaranya menjadi guru mengaji. Tidak hanya itu, Nyai Muqod juga melakukan pengkaderan pada anak didiknya dengan cara memberi kepercayaan pada yang senior untuk mengajar anak-anak yang masih belajar Juzz Amma. Ada juga yang mendapat bagian mengajar cara dan gerakan sholat yang benar. Juga bacaan-bacaan sholat yang fasih.
Sebagai salah satu anak didiknya, saya benar-benar mengucapkan rasa terima kasih tak terhingga pada Nyai Muqod. Entah apa jadinya jika saya tidak belajar mengaji pada beliau. Guru mengaji yang sungguh telaten. Mengajari kami mengaji Alqur’an ayat demi ayat.
Metode mengajarnya sungguh efektif. Mengingat banyaknya anak yang belajar mengaji, dalam satu sesi Nyai Muqod menyimak tiga bacaan Alqur’an anak didiknya sekaligus. Maka tidak heran jika ada satu ayat yang bisa diulang hingga beberapa kali. Setelah bacaannya benar baik tajwid maupun pelafalannya, baru diteruskan ke ayat berikutnya. Begitu terus sampai kami khatam Alqur’an.
Satu saja ada ayat yang salah baca, Nyai tidak akan segan-segan untuk membenarkannya. Meski harus dengan cara menghentikan semua aktivitas muridnya . Jika sudah begini, semuanya hening. Hanya ada satu orang yang membaca Alqur’an yang harus dibetulkan bacaannya sampai benar.
Demikianlah Nyai Muqod, penuh ketelatenan, kelembutan tapi juga tegas. Semoga Allah selalu memberinya kesehatan. Aamiin.
Mengutip kalimat Emha Ainun Najib, di dunia ini, tidak ada yang namanya ‘mantan guru’, yang ada hanyalah ‘yang sedang menjadi guru’ dan ‘yang akan menjadi guru’. Dan guru mengaji bagi saya adalah guru yang paling berjasa. Bagaimana tidak? Dalam kehidupan manusia yang jadi panduan adalah Alqur’an dan Hadist. Jika tidak ada guru mengaji, bagaimana mungkin saya bisa membaca dan mengikuti petunjuk dalam Alqur’an dan Hadist. Dari guru mengajilah saya belajar mengenal Alquran lebih dekat. Dan dari guru mengajilah kita mendapat ‘bekal’ untuk hidup di dunia dan akhirat.
Sayangnya, nasib guru mengaji masih dikebiri di negeri ini. Padahal, jika mau jujur, guru mengaji seperti Nyai Muqoddimah inilah Kartini yang melahirkan generasi Qur’ani.
Gambar dari kerdipanbintang.blogspot.com